Kamis, 26 Januari 2012

Hujan Mulai Reda Cerpen: Aam Amilia


Pikiran Rakyat
Sabtu 01 September 2007

Hujan Mulai Reda
Cerpen: Aam Amilia

ASMITA masih mencangkung. Mata tuanya memandang ke luar jendela. Nampak anak-anak muda berduyun-duyun sejak tadi. Mereka menuju kantor desa. Ada berita baik yang dihembuskan angin. Katanya tanah mereka akan dikembalikan. Lelah menunggu bertahun-tahun, kini titik terang mulai nampak. Betapa tidak, lahan garapan mereka yang dulu dipakai tempat olah raga dan hiburan orang-orang berada, akan mereka miliki lagi.

"Pak, kopinya mau dibawa ke sini?" Suara istrinya terdengar merdu di telinga. Sebuah anggukan tanda setuju ia berikan. Tak ingin rasanya Asmita beranjak dari tempat duduknya. Ia ingin mendengar berita baik itu sesegera mungkin. Dari kursi buatan tahun lima puluhan ini, ia bisa melihat lalu lalang orang-orang yang tengah dimabuk bahagia.

Sudah hampir enam kali orang-orang desa mengadukan nasibnya. Mulai dari pemilik sejengkal tanah sampai yang puluhan tumbak, bersatu padu berjuang. Mereka meminta janji pengusaha tempat olah raga dan hiburan itu. Konon, mereka menjanjikan ganti rugi yang memadai, bila usahanya sudah jalan. Sebagai tanda jadi, hanya sepersekian persen yang sudah mereka terima. Padahal, tak seorang pun setuju lahannya dibeli. Apalagi hanya akan digunakan untuk tempat hiburan. Setidaknya, bagi orang kampung, tanah itu tempat ladang mencari nafkah. Tetapi tak ada seorang pun yang berani mengatakan tak setuju, setelah orang terkaya di kampung menyetujuinya. Bahkan ikut mempromosikan pentingnya sarana itu.

"Saya tidak menemukan ketela yang bagus di pasar. Ini hanya ada ubi yang kemarin. Mau digoreng atau direbus?" Kembali suara istrinya terdengar ringkih.

Secangkir kopi diletakkan istrinya di meja yang peliturnya sudah mulai pucat. Sekali lagi hanya anggukan kepala yang ia berikan sebagai jawaban. Hanya gerak tangan yang mengisyaratkan terserah istrinya. Apa pun yang akan diberikan ia terima saja.

Senyuman istrinya terasa segar. Sesegar aroma kopi yang kini terhidang. Asapnya mengepul, perlahan melalui wajahnya yang sudah penuh keriput. Kendati sudah tak semenawan lima puluh tahun lalu, namun senyuman wanita yang telah memberinya tiga anak dan sembilan cucu itu, nampak masih manis.

Kekuatan senyuman itulah yang membuat Asmita enggan diajak anak-anaknya pindah ke kota, hidup senang di sana, diurusi mereka. Kembang Desa yang dipetiknya saat ijazah sarjananya ia raih, kukuh pada pendiriannya. Ia ingin terus merawat tanah leluhur mendiang ayah ibu, nenek, dan kakeknya. Senyuman itu begitu kuat menjerat Asmita untuk tetap tinggal di sini. Benar kata istrinya, banyak orang membutuhkan kita. Sejak kakek dan ayahnya tiada, Asmitalah yang dijadikan tokoh di kampung ini. Istrinya berpendapat menjadi orang dituakan di kampung, lebih berharga ketimbang menjadi orang kebanyakan di kota besar. Ia lebih dibutuhkan di sini, daripada di kota. Di sana sudah berjubel orang pandai dan terpelajar, kata istrinya.

Istrinya kini sudah nampak tua, konon lagi dirinya yang usianya terpaut empat tahun di atasnya. Itulah sebabnya ia merasa tak pantas ikut demo, mempertahankan hak atas tanah garapan yang sudah digunakan tempat olah raga dan hiburan itu. Ia juga ikut menandatangani persetujuan itu, setelah semua penduduk tak bisa menolak lagi. Mereka setuju setelah ada janji harganya akan berlipat lipat. Bagi Asmita, bukan itu yang diharapkan. Ia tak lagi mengharap gemerincing uang. Yang ia harapkan, janji pengusaha yang akan mengaryakan penduduk desa di lahan usaha tersebut kelak. Banyak anak-anak muda di desa yang menganggur. Sungguhpun mereka berijazah sekolah menengah, tetapi susah sekali mencari pekerjaan. Itu yang membuat ia dengan semangat membubuhkan tanda tangannya.

Ketika kenyataannya yang dipekerjakan di sana hanya satu dua orang, ia tak bisa menyalahkan pengusaha. Memang hanya sedikit penduduk kampung yang punya keahlian dan pantas bekerja di sana. Kebanyakan hanya anak-anak muda yang pemalu.

Angin tiba-tiba meniup kencang. Gorden jendela ruang tamunya bergerak keras. Padahal tadi masih diam tenang. Cuaca sekarang memang sering tak terduga. Ketika hari panas, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Kadang awan mendung menggayut, sampai pagi hujan tak jua turun. Hawa tiba-tiba dingin. Asmita mereguk kopi hangatnya. Terasa membasahi kerongkongannya perlahan, terus mengalir ke dalam perutnya.

"Mau ditutup jendelanya?" tanya istrinya yang kini terus duduk di dekatnya. Asmita menggelengkan kepalanya. Biarlah jendela itu terbuka, agar aku bisa melihat kebahagiaan orang-orang desa yang akan menerima pengembalian tanah mereka, katanya dalam hati. Setidaknya Asmita merasa ikut andil dalam perjuangan itu. Sebelumnya mereka akan bertindak kasar. Tanah yang ditutupi rumput hijau itu akan dicangkulnya, lalu dipatoknya sesuai kepemilikan masing-masing. Asmita melarangnya. Orang-orang muda itu akhirnya menurut.

"Kalian menuduh mereka merampas hak kalian. Padahal mereka sudah berjanji akan membayar seluruh uang yang sudah ditetapkan, setelah beroleh keuntungan dari usahanya itu. Kalian setuju, dengan membubuhkan tanda tangan. Ketika usaha mereka sudah maju, kalian menagihnya dengan baik-baik. Mereka secara terbuka mengatakan usahanya rugi. Padahal kalian tidak percaya. Kini dengan baik-baik, mereka berjanji akan mengembalikan lahan kalian. Sabarlah, tunggu janji mereka akan ditepati. Kalau kalian bertindak keras dengan merusak lahan itu, apa bedanya kalian dengan mereka yang kalian tuduh?" katanya.

Padahal diam-diam, Asmita menghadap wakil pengusaha itu. Ia meminta agar mereka segera tanggap pada keinginan masyarakat desa. Jangan sampai terjadi akibat buruk yang tak diinginkan. Kalau memang iya, usahanya merugi, kembalikan saja tanah mereka. Anggaplah uang muka yang sudah mereka berikan sebagai harga sewa. Toh, mereka sudah menicipi untung, kendati tidak memuaskan.

Setelah menghadap beberapa kali, Asmita dipertemukan dengan para pemilik usaha itu. Dengan baik-baik mereka menerima saran Asmita. Beruntung, yang menjadi salah satu direkturnya ternyata putra dari mantan anak buahnya semasa Asmita bekerja dulu. Ayahnya sangat mengenal Asmita, bahkan pengagum berat pola pikir dan ide-idenya. Terlebih dahulu ia mengajukan alasan mengapa mau memperjuangkan hal ini. Asmita berpura-pura menjadi pemilik terluas tanah yang digunakan sarana hiburan itu. Dan Asmita baru mendapat sebagian kecil pembayarannya. Ia ingin tanahnya kembali, bila pengusaha tak mampu melunasi harga tanahnya. Asmita berhasil menundukkan para pengusaha, berbekal masa lalunya yang amat dihormati dan disegani. Wibawanya belum pudar kendati ia sudah pensiun.

**

TIBA-TIBA hujan turun. Istrinya beranjak akan menutup jendela, tangannya ditangkap Asmita. Ia menggelengkan kepalanya, tanda tak setuju. Asmita yakin, anak-anak muda itu akan singgah ke rumahnya. Mereka akan menyampaikan kabar bahagia. Betapa tidak, mereka akan mendapatkan lahannya kembali, tanpa harus mengembalikan uang muka yang dulu sudah diterima. Pengusaha sudah setuju. Dan pernyataannya sudah disampaikan kepada kepala desa, untuk diteruskan kepada masyarakat.

Apa yang diperkirakan Asmita memang benar. Berlarian beberapa orang masuk ke halaman rumahnya yang luas. Tanpa harus mengetuk pintu, mereka langsung masuk, serta-merta melihat jendela rumah Asmita terbuka. Pintu segera dibuka istrinya. Ucapan assalamualaikum terdengar dari bibir-bibir yang basah. Mulut keriput dua sosok manusia menjawab salam itu dengan nada ramah. Dengan sigap, istrinya memberikan beberapa helai handuk kecil kepada mereka. Secara bergiliran mereka mengeringkan rambutnya. Beberapa saat mulut-mulut itu terkatup. Hanya desah kedinginan yang terdengar di sana sini.

"Sudah selesai?" tanya Asmita.

"Wah Pak, kami tak bisa mendapatkannya. Karena yang diberikan hak mengambil kembali tanahnya harus memperlihatkan sertifikat. Padahal kami kan Bapak tahu sendiri, mana ada di kampung yang punya tanah pakai sertifikat."

"Apalagi saya, tanah sejengkal itu diberikan turun-temurun dari Kakek kepada Bapak lalu pada saya. Hanya patok pohon petai yang jadi batasnya."

"Kamu kemukakan alasan itu kepada mereka?"

"Aduuuh, mana berani, Pak."

Asmita terhenyak. Ia menatap wajah anak muda itu satu satu.

"Tapi tadi di sana, ada yang punya sertifikat?" tanya Asmita lagi.

"Adaaa, Pak, juragan-juragan kaya di kampung kita dan beberapa orang lagi, kaum muda yang kini tinggal di kota."

"Mereka langsung mendapatkannya?"

"Iyaaa," jawab mereka serempak.

"Tidakkah mereka membela kalian?"

"Yang datang cuma orang suruhannya."

Mereka saling pandang. Ada kelesuan membayang di kelopak mata mereka. Kedipannya tidak secerah waktu kemarin, ketika mereka mengabarkan kebahagiaan ini pada Asmita. Untunglah istrinya membawa seteko besar air kopi dan beberapa gelas. Tak lama ia kembali dengan sebaskom rebus ubi panas. Suguhan itu melepaskan kebekuan. Mulut-mulut yang terkatup, mulai terdengar berkeciplak. Suara seruputan dan desah kepanasan terdengar di sana sini.

"Itulah sebabnya kami kemari, mohon petunjuk dan pertolongan dari Bapak. Kami tak berani bicara, malu, dan takut. Tapi kami yakin bila Bapak yang menjelaskannya mereka akan mengerti. Paling tidak para Juragan itu juga akan mau hadir bersaksi."

"Kami ingat pesan Bapak, jangan bertindak keras, segalanya bisa selesai degan musyawarah. Tapi kami tak punya keahlian bicara. Kami tak punya keahlian apa pun, selain mencangkul."

Asmita hanya menganggukkan kepala. Bapak-bapak muda itu permisi pulang setelah hujan reda dan menikmati ubi rebus, serta menghabiskan kopinya masing-masing.

"Pak, ayo kita pergi ke sana. Bukankah tanah kita punya sertifikat?" kata istrinya. Suaranya ceria, bernada bahagia. Matanya membinarkan cahaya.

"Nanti saja, kalau mereka semua sudah mendapatkan tanahnya. Simpanlah dulu sertifikat itu baik-baik, Bu," jawab Asmita sambil menelan regukan terakhir kopinya.

"Tapi mereka tak punya sertifikat, Pak."

"Kita perjuangkan sekali lagi. Para pengusaha itu akan mengerti."

"Bagaimana caranya, Pak?"

"Saya akan menjelaskan kebiasaan kepemilikan tanah secara turun-temurun di kampung ini, kepada mereka. Saya yakin mereka akan mengerti."

Perlahan istrinya bangkit. Satu-satu barang yang berserakan dibawanya masuk.

"Jendelanya juga tutup saja, ya Pak?"

Asmita menganggukkan kepalanya, dengan lesu. Walau matanya tetap menatap kosong ke luar jendela, memandangi hujan yang mulai mereda, menatap dedaunan yang bergerak perlahan dan senja yang mulai temaram. Hujan sudah reda, tetapi hatinya masih tetap diguyur hujan kegundahan. ***

Cijawura Indah
Awal 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar